Kisah Lelaki dan Teri Medan yang Tertahan


Belasan tahun kemudian, si anak, baru menemukan keberanian untuk bertanya kepada bapaknya.

Foto: Alamy (http://www.telegraph.co.uk/)
Foto: Alamy (http://www.telegraph.co.uk/)

Tiba-tiba dia sudah ada di depan saya. Dua depa jaraknya. Seorang lelaki dengan uban yang berjejer di batas kening dan tengkuknya. Kursi yang dia duduki, pelahan dia turunkan, agar kakinya yang berselimut sepatu kets warna biru tua, tali putih kusut, itu, dapat menapak ke lantai. Kulit di jemari tangannya menghitam, sedikit keriput. Mungkin karena usia. Bisa juga karena paparan matahari ketika menggenggam setang sepeda motor.

Kursi pun beringsut mendekat. Jaraknya mungkin tinggal sehasta dengan kursi yang saya duduki. Dan entah kenapa, yang pada awalnya soal proyek yang tak kunjung usai, kami pun berbincang hingga perkara remeh temeh ikan asin dan teri medan. Sesekali dia tertawa, memperlihatkan gigi depannya yang bagian ujungnya patah segitiga, dengan warna kecoklatan tembakau yang menjelaga. Lebih sering, lelaki yang menuju ashar, itu, membetulkan kacamata bergagang tebal, warna hitam, yang melorot hingga pangkal hidung. Saya tersenyum geli melihatnya.

Dia berkisah, jika dia merupakan anak yang hidup dari kematian ikan asin dan teri medan yang dijual di kios orang tuanya. Saya tertawa, dan menimpali, “Sampeyan itu anak juragan iwak asin to mas?”. Lelaki dengan kaca mata hitam yang selalu melorot itu, tak menjawab, hanya tertawa lebar.

Sampai suatu ketika, senyum saya terhambat demikian hebat.

Anak sulungnya, yang tahun ini akan masuk sekolah menengah atas, bertanya ke lelaki bergigi depan patah segi tiga itu,” Kenapa bapak tak tinggal lagi dengan ibu? Sejak lama saya ingin menanyakan ini ke bapak. Baru kali ini saya berani dan tahu cara bertanya ke bapak.”

Saya baru tahu, lelaki dengan uban menjamur itu berpisah dengan istrinya sejak si anak masih balita. Balita kecil, lelaki anak pertamanya itu, ikut dengan ibunya. Hanya sesekali bersua dengan sang bapak. Mereka kini, masing-masing telah hidup dengan pasangan barunya.

Belasan tahun kemudian, si anak baru menemukan keberanian untuk bertanya kepada bapaknya.

Beberapa saat saya tercenung.

Saya seperti melihat tayangan shitnetron. Saya bak menonton aktor-aktris yang berperan ala provokator di keluarga-keluarga gemerlap di layar televisi. Saya seakan membaca buku-buku manual bagaimana trik dan tips memecah belah keluarga. Saya seolah-olah disuguhi ilmu berpisah secepat kilat. Saya serasa dicekoki jamu-jamuan perangsang pemercepat pasangan ganda. Saya…

“Mas nanti, kalau sempat, saya bawain teri medan ya?”

Lelaki dengan kaca mata yang selalu melorot di pangkal hidung, itu pun beranjak pergi meninggalkan kursi yang berputar pelahan di porosnya.

Satu pemikiran pada “Kisah Lelaki dan Teri Medan yang Tertahan

  1. Meski sedang mengandung lima bulan, Ashanty tetap gemar mengenakan sepatu berhak tinggi. Sepatu bertumit tinggi dinilai tidak baik untuk wanita yang sedang berbadan dua. Tetapi, Ashanty sulit melepaskan kesenangannya menggunakan sepatu hak tinggi.
    Kebiasaan istri Anang Hermansyah mengenakan sepatu tersebut mendapat perhatian lebih dari Aurel. Putri sulung Anang Hermansyah ini menentang kebiasaan ibu sambungnya yang senang mengenakan sepatu high heels. Ia pun mengajukan protes kepada Ashanty.
    Ia khawatir bundanya itu mengalami cedera karena mengenakan sepatu tinggi. Ia meminta agar Ashanty tak lagi mengenakan sepatu bertumit. “Sering protes Bunda, biar enggak pakai high heels lagi selama hamil,” kata Aurel saat ditemui di Plaza Indonesia, Kamis, 16 Juni 2016.
    Kekhawatiran Aurel cukup beralasan. Ia pernah melihat Ashanty terkilir karena sepatu hak tinggi yang dikenakan Ashanty. Ia takut sepatu hak tinggi itu justru menyakiti bundanya. “Karena pernah terkilir juga,” ujar Aurel.
    Meski diprotes Aurel, Ashanty tak peduli. Ia mengaku tak percaya diri jika tidak memakai sepatu hak tinggi. “Aku pendek kalau enggak pakak hak tinggi. Malu kan sama model-model,” ujar Ashanty di tempat yang sama.

Tinggalkan komentar