Kuwas Sang Juragan


Ketika manusia bermunajat dan Gusti Allah berkehendak, maka hidup itu bukan sekadar itungan matrix dan matematika.

Foto : dok. Vemale.com
Foto : dok. Vemale.com

Muda, cantik, dan berangsur kaya raya. Usianya baru beranjak 21, pada Maret lalu. Laksita Pradnya Paramita, nama lengkapnya. Biasa disapa Sita atau Mita, tergantung siapa yang mengajak bicara :). Omzet bisnisnya mencapai lebih dari Rp 100 juta per bulan, ‘hanya’ dari berjualan kaos kaki secara daring yang sebagian jualannya nampang di akun Instagram @VoriaSocks, merek yang dia besarkan sejak Mei 2014 silam.

Dia lahir bukan dari keluarga kaya raya. Orang tuanya bercerai ketika dia kecil. Tinggal bersama ibunya tentu menjadi hal yang cukup berat bagi Mita kecil. Sedari usia dini, dia terbiasa jual beli barang yang menarik minat rekan-rekannya. Perlahan intuisi bisnisnya dan soft skills-nya terasah. Bekal kesuksesan yang akan diraih tahun-tahun mendatang.

Salah satu hal yang memicu gadis kelahiran Kebumen yang besar di Bandung ini untuk berhasil, yaitu akibat cemoohan teman-teman SMA karena IQ-nya dibawah 100, turun sedikit lagi, masuk kategori tak punya nalar. “Kamu nggak bakal sukses, IQnya aja kecil, tergolong bodoh,” kata teman-temannya kala itu. Sakit hati diejek anak bodoh, dia pun berusaha membuktikan sebaliknya.

Begitulah ketika manusia bermunajat dan Gusti Allah berkehendak, gadis muda itu membalik ejekan dengan kesuksesan luar biasa yang jarang dicapai gadis seumurnya. Kini dia mempunyai 8 orang pekerja kreatif yang terdiri dari; fotografer, desainer, dan penulis untuk membantu mengembangkan bisnisnya.

Lihat saja foto-foto dan teks yang terpampang di akun Instagram VoriaSocks, tak hanya sekadar menjual, tetapi penuh dengan cita rasa seni kontemporer. “Tak perlu jadi orang pintar, tapi pintar mencari orang pintar,” ujar Mita.

Saya setuju, bahwa pintar secara akademik dan teoritis itu bukan jaminan untuk sukses dalam bisnis atau kehidupan. Kerja keras, pengalaman, jaringan, kecerdasan melihat peluang, dan soft skill-lah, yang lebih berperan dalam kesuksesan. Apapun bentuk dan ukuran sukses itu.

***

Enam paragraf cerita di atas sebenarnya merupakan tanggapan dari postingan Mas Rudi Triatmono di sini.

Selama ini, saya selalu ho oh..ho oh saja tiap kali membaca postingan juragan rondo, begitu Mas Tri menyebut diri. Walau kadang ada yang tidak saya setujui, tapi karena tidak terlalu nancep, ya saya ho oh-kan saja. Misal; test ride motor anak jalanan beli sendiri (ho oh), analisa matrix motor A vs motor B (ho oh), ngaji bareng habib (ho oh), review iPhone, iMac, iTiongkok (ho oh), dongeng darah biru dinasti Mataram (ho oh), sharing prinsip hidup seimbang dengan agama dan ngumpul bareng orang soleh (ho oh), dan semacamnya, pokokmen ho…..oh :mrgreen:

Sampai ketika kalimat ini terpampang:

Jadi bagi yang masih muda… yang masih kuliah… sekedar saran… belajar bener-bener… jangan madoool… jangan hobby nongkrong… kalau perlu nggak usah ikut organisasi-organisasian… fokus aja dulu ke belajar …!!!

Apakah ikut organisasi itu gak penting? Masa secupet itu?

Bagaimana dengan organisasi yang didirikan bapak bangsa ini? Seperti Boedi Oetomo (dr Sutomo dan mahasiswa STOVIA), Sarekat Dagang Islam (Haji Oemar Said Tjokroaminoto), Indische Partij (yang didirikan triumvirat Tjiptomangoenkoesoemo, Douwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara). Tokoh-tokoh itu sibuk berorganisasi sambil kuliah dan kerja lho! Dan hasilnya bisa kita nikmati sampai detik ini.

Lalu di masa kini, ada organisasi relawan Jalin Merapi, Indonesia Mengajar, Akademi Berbagi, Transformasi Hijau, Indonesia Bercerita, Komunitas Ciliwung, dan lain sebagainya. Anggotanya banyak anak muda yang masih sekolah, kuliah, atau pekerja. Soal kesuksesan aktivitas mereka? Tak usah ditanya lagi.

Jika yang dimaksud Mas Juragan itu organisasi seperti geng motor kriminal dan semacamnya, ya tentu saja tidak ho..oh.

Saya menangkap kesan, dari postingan Mas Tri itu, bahwa yang berhak sukses itu hanya pintar melalui sekolah, berijazah S1, S2, S3, lalu kerja nderek swasta atau pemerintah. Padahal hidup itu bukan sekadar itungan matrix dan matematika semata. Atau seruwet dan sendakik-ndakik analisis perencana keuangan yang mbulet itu.

Ambil contoh, seleblog bernama Agus Mulyadi, yang sukses dengan buku berjudul Jomblo Tapi Hafal Pancasila itu. Gus Mul, begitu dia biasa dipanggil, hanya lulusan SMA. Konon, untuk mendapat ijazah SMAnya itu, guru-gurunya harus mendongkrak nilainya agar lolos threshold standar kelulusan :mrgreen:

Dia ngeblog dari loteng rumahnya yang pengap, berisi komputer lawas, kipas angin, lembaran tikar, dan segulung kasur bapuk. Kamar di loteng itu pun buatan bapaknya yang berinisiatif membuat sebuah ‘kandang’ di bawah atap genting untuk anak lelakinya yang mengaku tak tampan itu.

Tapi coba lihatlah tulisan-tulisan lulusan SMA Magelang itu. Bernas, cerdas, dan kocak. Cara dia menulis pun rapih, dengan tata bahasa Indonesia yang baik, jarang sekali typo, dan alur yang mudah difahami, ejaan yang tertata, dan pemilihan diksi ataupun judul tulisan yang joz.

Jauh bukan dibandingkan dengan lulusan universitas yang ngakunya S2, S3, dosen, ataupun para pesohor blog itu, yang tata bahasanya tidak karuan. Tak tahu bedanya titik, koma, atau letak huruf kapital :mrgreen:

Di zaman babi ngepet mainan Whatsapp ini, orang cerdas dan pintar semakin banyak. Tapi orang jujur dan bernalar kian langka. Lihat saja itu status dan link hoax yang dishare di media sosial, banyak dilakukan oleh kaum berpendidikan tinggi. Sepertinya kok mereka-mereka itu #kuwas alias kurang wawasan ya juragan? 🙂

 

4 pemikiran pada “Kuwas Sang Juragan

  1. Doktrin dan paradigma orang tua (jawa) adalah sekolah yang pintar, besok kerja jadi pegawai yang patuh sama atasan. Termasuk saya sendiri mengalaminya. Alhasil mindset anak terpatri semenjak dini sehingga sulit untuk keluar dari lingkaran. Ditambah anak tidak pernah mengikuti kegiatan organisasi sejak dini.

    Terlepas dari membandingkan antara wirausahawan itu lebih baik daripada jadi karyawan, karena ukuran kesuksesan tiap manusia itu berbeda. Namun bila dipikir, apakah saya akan memeluk Islam apabila kedua orang tua saya bukan muslim?

    Agama kita sebagian besar karena turunan dari orang tua bukan?

    *tanggaltuangomyang

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s