Hasrat mengambil stok foto sirna karena kenikmatan berkendara.

Libur panjang di Kota Jogja atau Sala ibarat neraka jalanan. Simpul kemacetan terserak berarak di dalam maupun sekitar kota yang keduanya berjarak lebih kurang 60 kilometer itu.
Itulah kenapa saya memutuskan untuk mengambil jalur melingkar lebih jauh dari Sala menuju Kutoarjo, yang jika melalui Jogja berjarak sekitar 125 kilometer.
Usai menimbang, memperhitungkan waktu tempuh, jarak, dan rasa penasaran akan sekelumit jalur selatan yang kabarnya apik itu, saya pun memutuskan mengambil jalur Wonosari, Gunung Kidul, Imogiri, Kulonprogo, Jalan Daendels, hingga berhenti di Stasiun Kutoarjo.
Tergambar di Google Maps, jaraknya mencapai 199 km dengan waktu tempuh – tentu saja titik macet yang kemungkinan ada di beberapa lokasi, atau ketika berhenti untuk isi BBM, dan sebagainya, tak diitung – sekitar 5 jam.
Jalur Google Maps itu pun saya ‘pindahkan’ ke perangkat lunak GPS Sygic yang terinstal di ponsel Asus yang terpasang di setang, dan terbungkus sarung Peripower.
Oh iya, kenapa Stasiun Kutoarjo? Itu karena motor saya musti dikirim balik ke Jakarta melalui stasiun tersebut, dan maksimal loading pukul 17.00 WIB.

Kenapa tidak dikirim dari Sala saja? Hal itu karena saya kehabisan tiket kereta api (KA) jatah mudik gratis pengguna motor dari Kemenhub pada 2015 tujuan Jakarta – Sala pergi pulang. Tiket yang tersedia kala itu Jakarta – Semarang atau Jakarta – Kutoarjo. Saya memilih Kutoarjo karena Semarang – Sala numpak motor itu terlalu populer 😀
***
Selasa, 21 Juli 2015, cuaca cerah menyambut pagi. Alhamdulillah. Usai sarapan, jam menunjukan pukul 08.45 WIB. Praktis saya punya waktu maksimal 8 jam untuk mencapai Stasiun Kutoarjo. Dengan perkiraan waktu tempuh 5 jam, saya hanya punya waktu sekitar 3 jam untuk aktivitas selain berkendara: isi BBM, makan siang, salat dhuhur, ashar, dan sejenisnya.
Awalnya, saya memang berniat untuk mengambil stok foto selama di jalan. Tapi ternyata nasib memilih jalannya sendiri. Terutama selepas Candi Prambanan menuju arah Wonosari, Gunung Kidul. Di sanalah GPS Sygic mulai saya nyalakan. Dan demi menghemat baterai – walau saya membawa power bank berkapasitas besar yang mampu mengisi ponsel hingga tiga kali – ponsel saya set flight mode.
Masuk ke jalanan Piyungan yang terlihat teratur, bersih, dan tenang. Kontras dengan akun sosial media ‘Mas Payung’ itu yang berisik luar binasa berusaha memecah nalar dan mengadu sesama wedus gimbal . Sayang sekali ya, daerah ini ‘ternodai’ oleh ulah para oknum itu 🙂
Menuju Wonosari, Gunung Kidul, jalannya lumayan enak, sedikit meliuk, lurus, dan tentu saja semakin panas. Berhenti di mini market pertigaan Jalan Manthous untuk istirahat dan melepas dahaga dengan air mineral.

Selanjutnya menelusuri jalan penyanyi campur sari kondang itu melalui Jalan Playen – Paliyan. Saya sengaja tidak mengambil arah Pantai Baron, karena banyak sekali rombongan motor yang menuju ke arah sana.
Lanjut ke Jalan Paliyan – Panggang. Mulailah pemandangan kiri-kanan jalan menampakkan pesonanya di musim kemarau yang kontras dengan warna aspal yang abu-abu pekat itu. Ditambah jalanan yang halus dan meliuk-liuk membuat saya begitu menikmati meter demi meter perjalanan. Secuilpun tak ada niat untuk berhenti dan foto-foto pemandangan ataupun selfie. Hasrat mengambil stok foto sirna karena kenikmatan berkendara.

Sebenarnya saya ingin mengambil arah ke Parang Tritis, namun dengan pertimbangan tangki bensin yang saya kira tidak cukup untuk sampai ke Kutoarjo, dan SPBU Pertamax yang langka, saya pun mengambil arah Imogiri. Disana saya mengisi BBM secukupnya sehingga nanti di Stasiun Kutoarjo, ketika tangki dikuras sebelum loading KA, tak terlalu banyak BBM yang dikeluarkan oleh petugas pengiriman.
Isi bensin di Imogiri lanjut ke arah Srandakan melalui Jalan Sultan Agung. Terbersit untuk ziarah ke makam raja-raja Mataram seperti yang biasa dilakukan juragan Triatmono. Tapi kok malu sendiri karena tak punya akta ‘garis biru’ hahaha….
Akhirnya sampailah ke jalan legendaris itu: Daendels. Entah berapa kilometer jalan yang lurus ini saya tempuh. Pokoknya sampai bosan melintir gas hingga mentok. Udah gitu, kok ya mendadak njedul Z-800 dari belakang dan menghilang dengan cepat dari pandangan di depan. Menyisakan dengungan exhaust yang menyesak dada daaaa…daaa..daaa..daa…
Saya akhiri jalan buatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda bernama lengkap Herman Willem Daendels (memerintah 5 Januari 1808 – 15 Mei 1811), itu, dengan masuk ke jalan Grabag – Kutoarjo. Masuk ke Stasiun Kutoarjo jam 16.30 WIB dan motor dipacking 15 menit kemudian.

Selanjutnya saya menuju hotel Puri Mandiri milik bank daerah Purworejo menggunakan becak motor, istirahat semalam, dan esok paginya numpak kereta menuju Jakarta. Tentu saja sambil nenteng ‘perabotan tanjidor’ khas pengendara rempong 🙂
wah pelecehan ini..
dibilang pom pertamax susah
😆
Ampun kak….malah nemu pom bensin anyar tapi suwung…..medeni 😦
Munafik..
Menafikan hasrat selfie..lantas menuliskan lewat artikel.
Ngoahahaa.. hasrat pamer kepunjulen
Wah #konangan 😀
waaaaa ini, harusnya bisa ketemu si om “ngebut rider” .. saya deket st Kutoarjo lho…
Maaf, baru sempat posting 9 bulan kemudian. Namanya juga alon-alon asal ngeblog
Jadi baru tahu kalo njenengan lokasinya dekat stasiun 🙂
Lewat depan rumah…
Gak kelihatan…. *khusuk ngibadah jalanan 😀