Ndas gundul dikepeti, bubar mangan, selonjoran, karo nyruput kopi asli ning mBoyolali.

Semangkuk sup ayam kampung berisi kepala, paha, dan swiwi, terhidang di depan saya, di sebuah sore usai hujan mengayun, akhir Februari lalu, di Boyolali.
Kepala ayam kampung yang ginuk-ginuk itu tiba-tiba mengingatkan saya perbincangan anak dan orang tua, lebih dari 35 tahun lampau. Di meja makan, jika menunya pas ada ayam kampung (saat itu belum populer ayam ‘pabrik’), bapak atau ibu saya kadang suka berkata,”Nek milih iwak pitik, sirahe wae, ben dadi wong gede, koyo pakdemu kae, kaet cilik doyane sirah pitik.”
Usai berkata, bapak lalu menyantap brutu (buntut ayam), yang pada masa itu ‘diharamkan’ bagi saya dan adik-adik, dengan alasan,”Brutu marai cepet lalen“. Anak-anak seusia saya, di kala itu, juga mendapat peringatan serupa dari para orang tuanya.
Peringatan yang akhirnya lekang oleh peradaban. Tentu saja. Karena kini di Kota Sala, begitu banyak warung makan yang menjajakan sop brutu ayam, sate brutu, dan sejenisnya yang mengandung brutu dalam menu jualannya.
Nah, bisa jadi si tuan rumah yang menghidangkan sop kepala ayam kampung di Boyolali itu, memang berusaha menghormati tamunya. Atau mungkin juga, di sore itu, hanya tersisa potongan kepala, swiwi, dan paha saja, karena warung yang dia kelola buka sejak pagi hari.

Apapun itu, yang lucu adalah air muka si yang empunya warung ketika sop ayam itu terhidang di meja saya. Ada rasa kekhawatiran, apakah saya sreg dengan bumbu, kuah, dan rasa ayamnya?
Alhamdulillah, rasa sop ayam kampung itu memang trengginas. Apalagi, bagi perut yang sengaja saya kosongkan sejak perjalanan dari Karangpandan, Klaten, dan Boyolali setengah hari tadi š
Seperti biasa, teh (yang bukan teh kantong instan) tubruk yang sudah disaring menjadi pelengkap usai makan. Tak lama kemudian, si tuan rumah, Deny Sugiharto, kawan kerja yang kini memilih menekuni bisnis kuliner dan kopi, menyuguhkan kopi Mandailing dengan metode french press. Mantap!
Warung D’Asmo Kopi Angkringan yang terletak di Jalan Buncis-Bayem Nomer 89, Poncobudoyo, Boyolali, ini memang menyajikan sejumlah kopi lokal sebagai menu andalan. Selain Mandailing, juga tersedia kopi Gayo, Toraja, Papua, Bali Kintamani, Bajawa, Lintong, dan Takengon.

Alat-alat seduhnya (brewing) juga bermacam-macam. Ada metode french press, vietnam drip, moka pot, tubruk, dan yang terbaru – dan dipamerkan di akun Facebooknya, adalah perkakas Rok Presso Classic, khusus untuk membuat kopi ekspreso. Wow tenan!
Warung dengan ornamen kayu jati londo, ini buka sejak jam 08.00 – 00.00 WIB setiap hari. “Kalau malam minggu bisa sampai jam dua pagi,” kata Denny sambil mengusap kepalanya yang plontos tak terkira itu.
Harga secangkir kopi yang ditawarkan di warung bergaya lesehan ini juga murah meriah. Secangkir kopi dijual dengan harga Rp 5 ribu per cangkir. Jus jeruk, alpukat, jambu, sirsak, tomat, susu murni, milo panas, juga dihargai Rp 5 ribu. Sedangkan teh panas, air mineral, cukup Rp 2 ribu. Hanya jeruk panas yang dijual Rp 3 ribu. Harga yang bersahabat di Boyolali dan sekitarnya š

Kekenyangan, saya pun terkantuk-kantuk nyender di tiang warung. Langit sore yang sempat diterobos matahari, berangsur gelap. Gerimis berdatangan. Seperempat kopi Mandailing yang tersisa di cangkir pun saya habiskan. Satu jam jam sebelum maghrib berkumandang, saya pun pamit pulang ke Sala.
Sekali-kali mampir lagi ah ke sini. Njajal kopi ekspreso wong mBoyolali. Suwun mas Deny atas jamuannya yang hebat sore itu. š
NOTED:
- Koordinat GPS Warung Kopi Angkringan D’Asmo: 7°31’48.1″SĀ 110°35’36.0″E
- Koordinat di Google Maps (klik saja) :Ā -7.530016, 110.593348
weh boyolali
Njajal ke sana maseee…. š
boyolali kota yo mas? boyolaliku pinggiran og
Yes. Cedak seko nggonmu kuwi dibanding seko Suroboyo maseee š
wkwkwkwk
kenapa disitu malah ga ada kopi temanggung?
Mungkin marketingnya kopi Temanggung kekurangan amplop kak hihihi
jamin mana jamin..
Jamin left kak….