Sepotong Hujan di Ujung Sepatu


Hujan itu prosa perindu senyap.

rain-on-glass-wallpapers_41119_1366x768

Foto : Wallpaperstock.net

Kita sepertinya digariskan untuk bertemu setiap Jumat. Siang. Ketika sang baskara beranjak dari limbang tengah hari.

Di pengujung kemarau yang panas ini, lorong gedung tempat kita bersua, yang jauh dari pendingin udara, seketika berembun.

Tawamu, bola matamu yang merindu bersua, bak derai hujan di tanah kahat. Merekatkan kembali keping dan bongkahan lempung yang tercabik-cabik kemarau panjang. Menumbuhkan ibun tanah esok pagi.

Ah. Hujan itu puisi. Seperti sepenggal hujan yang turun semalam. Ya. Hanya sepotong air yang menderas langit. Cukuplah pengobat rindu rawan kerontang berkepanjangan. Seperti sawah merindu hujan. Seperti sereal menanti susu dituang di dalam cawan.

Ah. Hujan itu prosa yang senyap buatku. Menyentuh hujan mendamparkan ingatanku tentangmu. Ra. Tentang perempuan mirat yang luruh bersama air asuhan alam.

Tentang tangan yang menggenggam saat berlari melawan hujan di pinggiran negeri. Tentang keraguan menembus hujan beriringan. Tentang taksi yang tak mau membuka pintu masuk di tengah hujan deras dan kemacetan yang menggila. Tentang potongan-potongan air hujan yang membahasi ujung sepatu kita.

Ah. Hujan itu buluh perindu ajaib. Sosoknya, kadang hadir tak perlu mendung bergelayut manja di langit. Dia datang tak perlu menunggu bulan di kalender, seperti secuil puisi Sapardi Djoko Damono: Hujan Bulan Juni.

. . .
tak ada yang lebih arif
dari hujan di bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

14 pemikiran pada “Sepotong Hujan di Ujung Sepatu

Tinggalkan Balasan ke nadi Batalkan balasan