Kebenaran hanya milik Tuhan. Kebetulan itu kepunyaan Mbah Bejo.
Mari kita bicara tentang bengkong. Bahasa Jawa dan kamus Bahasa Indonesia, memberikan arti sama: bengkok. Sementara orang Betawi menyebut bengkong sebagai tukang sunat alias juru supit.
Jujur, saya sedang gelisah dengan bengkong atau bengkok ini. Terutama pola pikir mbengkong (orang Jawa suka memberikan huruf ‘M’ di depan kata atau kalimat yang diawali hurf ‘B’ seperti mBali, mBandung, mBogor, mBanyuwangi, dan sejenisnya – terutama jika ditanya soal tujuan ‘mau kemana?’ ‘dari mana?’ dan semacamnya).
Sudah, sudah. Saya langsung ke mbengkong ini saja.
Begini ceritanya. Handle switch bagian kiri, terutama tombol hi-pass beam, sudah mulai aus. Beberapa kali gagal menyala ketika ditekan. Walau sudah dibongkar dan dibersihkan, tetap saja mati-hidup. Maklum, odometer motor saya sudah menginjak 86 ribu kilometer lebih, dengan usia 5 tahun lebih sedikit.
Tombol hi-pass beam ini begitu penting bagi saya, terutama di malam hari, laiknya tombol klakson. Soalnya di jalanan Jakarta yang nggilani ini, begitu sering berpapasan dengan biker tolol yang motornya gelap gulita, hitam, mirip pantat #jamingram. Dari kejauhan tak nampak batang kemaluannya setangnya, hanya suara knalpot abal-abal yang mirip lenguhan dinosaurus sedang birahi itu.
Nah, mumpung sudah waktunya ganti baru, saya pun berniat membeli handle switch Vixion edisi 2012 atau NVL yang model Automatic Head-lamp On (AHO). Kontak on, lampu depan juga on. Hal itu juga demi menghindarkan diri dari kelalaian para mekanik beres yang tidak menghidupkan sakelar lampu depan usai servis.
Saya pun menelpon beres langganan di Jalan Raya Bogor. Ternyata, handle switch Vixion model AHO tidak tersedia. Yang ready justru model lama berkode 3CI-H3969-00 yang diweb sparepart Yamaha Indonesia berharga Rp 141 ribu itu.
“Lho kok malah yang lama ada?,” tanya saya.
“Iya mas. Justru yang model lama ini laku keras, karena konsumen banyak yang mengubah handle switch AHO ke manual. Mereka bilang agar bisa mematikan lampu sendiri dan biar awet,” jelas mbak di ujung telepon.
“Ooh begitu ya?,” ucap saya.
“Iya mas. Malah bapak-bapak polisi pada ganti handle switch yang manual,” cerocos si mbak.
Penasaran, saya pun menelpon 3 (tiga) beres yang berbeda, masing-masing di daerah Kranggan, Cibubur, dan Radar Auri. Ternyata kondisinya serupa. Banyak konsumen yang mengubah handle switch AHO menjadi manual. Dengan alasan utama: lampu depan lebih awet.
Hmmm…padahal selama 5 tahun terakhir ini, saya hanya 3 kali mengganti lampu depan, yang harganya Rp 60 ribuan itu. Rp 180 ribu selama 5 tahun jauh lebih murah jika kerap ditilang gara-gara lampu depan yang mencapai Rp 100 ribu atau diterungku 15 hari, atau malah ini, celaka – amit-amit jabang bayiiik – gara-gara lampu depan dimatikan.
Undang Undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) pasal 107 ayat 1 dan 2 dengan jelas menyebutkan kewajiban tersebut. Sementara soal denda dapat dilihat pasal 293.
Memang, bagi sebagian biker, penerapan AHO ini sampai hari ini masih pro-kon. Yang kontra (namun positif) menyarankan, agar AHO tidak menggunakan lampu utama. Merujuk pada mobil dan motor produksi luar, daytime running light (DRL) menggunakan lampu LED yang ‘menempel’ pada lampu utama. Fungsinya sama: terlihat pengendara lain di siang hari.
Begitulah masyarakat kita. Belum tentu yang dilakukan kebanyakan orang itu benar dan bermanfaat. Terbiasa salah, lama-lama dianggap benar. Padahal kebenaran hanya milik Allah semata. Sementara kebetulan itu ilmunya Mbah Bejo 😀
Namanya juga mindset tuan bengkong.
Lain waktu, ketika menjemput anak pulang sekolah di Sabtu siang, saya iseng nguping pembicaraan ibu-ibu penjemput. Tampaknya mereka sedang serius dan resah soal kelanjutan sekolah anak-anaknya. Mau kemana setelah sekolah dasar?
Saripati dari hasil ngindik percakapan ibu-ibu itu, mereka ‘sepakat’ menyiapkan dana khusus untuk membeli kursi sekolah si anak. Entah kursi di sekolah negeri maupun swasta. “Udah lazim bu, pakai duit untuk booking kursi sekolah,” ujar seorang mahmud alias mamah muda.
Hmm… padahal si mahmud itu datang dari lingkungan keluarga yang taat beragama. Tentu soal moral dan kesalehan sosial tak usah diperdebatkan lagi. Atau memang secara tak sadar masyarakat kita sudah semakin pintar memisahkan diri antara urusan dunia dan akhirat?
Ke masjid, gereja, vihara, kelenteng, rajin setengah mati. Begitu keluar tempat ibadah, ya begajulan lagi. Atau memang magnet dunia itu selalu lebih kuat? Ah, betapa munafiknya saya ini ya?
Maklum, saya sedang indehoi dengan nyonya bengkong
…krik…krik…krik….
Tapi bagaimana menurut perspektif semiotikanya?
Nilai value mangkus mustajab gimana?
Ough..