Fasilitator itu bernama kopi.
Apa yang kau dapat dari secangkir kopi? Aroma, suasana, jabat erat, dongeng durjana, atau kisah asmara dahana?
Kopi sepertinya ditakdirkan menjadi fasilitator paling mangkus bagi relasi manusia global. Pun bagi saya yang bukan pecinta kopi ini.
Saya hanya penikmat kesederhanaan secangkir kopi. Asal bukan kopi instan atau kopi-kopi fabrikasi yang tidak begitu jelas DNAnya.
Menjadi sederhana itu, bagi saya, berarti tak terikat dengan ambience cafe merek global atau cafe cabi-cabi yang bertebaran di mall dan sejenisnya.
Bagi saya, yang bukan pecinta – gaya hidup – kopi ini, sebutir kopi harus jelas asal-usulnya. Kalau orang Jawa bilang: bibit, bebet, bobot 🙂
Di Jakarta, tempat ngopi yang seperti itu ada beberapa. Yang saya tahu dan pantas dicoba yaitu Jakarta Coffee House di kawasan Cipete Raya dan SiPirock (diambil dari nama Sipirok, daerah penghasil kopi ternama di Tapanuli Selatan) yang berada di ujung overpass Tanjung Barat, Selatan Jakarta.
Kedua tempat itu menawarkan kopi-kopi otentik Indonesia. Jakarta Coffee House misalnya, menyediakan 9 single origin kopi. Sementara Sipirock, tentu saja mengandalkan produk kopi leluhurnya, terutama Kopi Jantan Sipirok.
Namun, soal tempat ngopi saya tak terlalu peduli. Yang penting atmosfirnya berjodoh. Sama nikmatnya dengan ngopi di kapal apung tepi Sungai Musi di Palembang, nyeruput Kopi Siantar di tepi Danau Toba, atau menyudut di kopi kakilima di Bugis Street, Singapura.
Ngopi juga kadang menghadirkan kelucuan tak terduga. Boni misalnya. Jurnalis otomotif itu menyalahkan pohon-pohon rindang yang menutupi papan nama cafe, sehingga dia harus memutar jalan 3 kali dengan jarak yang cukup jauh hingga berhasil menemukannya. Padahal rekan-rekan lainnya tak semerana dia.
Atau kisah seorang tua berambut keperakan, yang malam itu datang dengan rambut berantakan, khas pekerja tenggat malam. Dirinya terpana dengan ambience lokasi, tapi perutnya tak kuat untuk menampung seteguk kopi singel origin. Jadilah, pria yang selalu ber-glove kutung itu mimik susu coklat panas 🙂 “Saya ditinggalkan teman-teman yang kini naik kelas menengah mapan,” kicaunya sambil mengusap uban yang mendera dahinya.
Begitu pula cerita seorang lajang yang bertahun-tahun kerja keras demi membeli seikat Ulos untuk disampirkan ke gadis pujaannya di sebuah Spa. Sebut saja namanya ‘Lutungs’, pekerja film, yang risau dengan pilihan silinder motornya.
Atau malah nyinyir seperti kontraktor jalan tol berjuluk ‘Beruang’ ini. Bagi dia, ngopi lalu menggunggah foto di medsos itu sebenarnya penyakit para social climber, sekelompok orang yang berusaha, apapun caranya – menggapai kelas – yang maunya dianggap – menengah. Hesteknya #MengukurBatasKejayaan dan #BiarDikiraTajir
Tiba-tiba, saya jadi ingat kamu Ra, perempuanku di batas fatamorgana, ketika bersama mencecap Kopi Toraja di sebuah bandara Indonesia. Kopi yang dibuat dengan sekenanya, walau di cafe itu tersedia mesin kopi modern.
Hasilnya? Bersama menahan sakit perut dan serentak buang air besar di toilet bandara tujuan. Dan kita saling menelpon mengabarkan hal itu. Aah, namanya juga fatamorgana 🙂
Overpass mulai sepi. Satu demi satu lampu ruangan dipadamkan. Lebih tengah malam rupanya. Saatnya kembali menginjak aspal realita dan ke peraduan.
Selamat pagi sobat.
Sudahkah ngopi pagi ini?
Dengan siapa?
Old but gold.
Rahmanteguh mertamu nang omahe Ata disuguhi kopi. Jarene kopine enak tenan, soale Ata ngelem kopi sing disuguhno. Rahmanteguh akhire nyruput kopi soale penasaran rasane.
Rahmanteguh: “Iki kopi opo tho, kok rasane rodo kecut?”
Ata : “Iku kopi istimewa, podo karo kopi luwak sing larang iku.”
Rahmanteguh : “Woo ngono tah, kopi opo jenenge?”
Ata: “Kopi kucing, aku gawe dewe…”
Rahmanteguh : “Opo’o kok jenenge kopi kucing?”
Ata : “Soale diolah lewat kucing, kopi luwak kopine dipangan luwak ndisik sakdurunge diolah, kopi kucing iki dipangan kucing sakdurunge diolah dadi kopi bubuk.
Aku terinspirasi karo kopi luwak, cuma ben gampang aku gawe kucing ae.”
Rahmanteguh : “Kucing doyan kopi tah, Ta?”
Ata : “Sakjane yo gak, kopine tak gerus rodo kasar, trus tak campur ikan asin, mari ngono tak pakakno kucing.”
Rahmanteguh wetenge wis mulai rodo mules,
Rahmanteguh : “Yok opo prosese?”
Ata : “Kopine kan metu bareng taek kucing, gerusan kopine disaring, dikumbah terus dipepe sampek garing, terus digiling maneh sampek halus. Lha iki kebetulan awakmu sing pertama nyubak kopi kucing, wong yo durung onok sing tak suguhi kopi kucing iki, aku dewe arep nyoba kok yo gak kolu… Yo opo cuk, rasane?”
Rahmanteguh: “Assu…. jancuk kowe Assuuu …!!! Iki duduk kopi kucing, cuk, tapi nek iki yo taek kucing jenenge!”
Pancen guru go. . . . blog. . . .
feel mulai dapat, mulai bisa dinikmati, ga perlu nunggu #barbakdo untuk memahami dan klik #like. okslah meski #ndorobanget tp malah nyaman meski dibaca berulang *nyontekakh
#keplakvprosisan
#helmR25 wae #barbakdo
Iyoooo. . .
barusan ngopi film jadoel
Wekekeke. . .
pfuihhh, untung spa-nya dicoret, bisa ketahuan gacoan gue sama eyang. Minggu ini ke sana lagi, sendiri saja, melepas asa menyeruput kopi khas sumatera.
Duduknya di bar lae. Di meja kayu bekas kapal. Siapa tahu ada yang nempel
*merenung
*menantielastico7
keren om…
Iya. Meja kopinya keren. Itu dari kayu bekas kapal tradisional di Tapanuli Selatan sana 🙂
Suasanasyuahdu dipadu dengan kopi yang lebih punya taste…
Kopi taste itu yang gimana mas bro? 🙂
tak ngopi… air puti ajah. Salam…
Yes. Air putih lebih sehat. Kopi dan ngopi, saya hanya sesekali. Kalau moodnya lagi kuat 🙂
BTW, tulisan-tulisannya di Kompasiana ok tuh. Nuansa kelabu ya? 😀