Cerita dari K@mpung


Sekali-sekali cerita soal kampung ah! Siapa tahu benar-benar kampungan. Begini. Saya termasuk penduduk baru di komplek. Tepatnya lima tahun lebih beberapa bulan. Sebelum tinggal di sana, waktu bujangan, saya beberapa kali nunut ngekos di kontrakan teman, rumah kawan, bahkan sempat tidur di kantor lama.

Ketika menikah, kudu cari kost-kostan sendiri. Masa uhuy di kamar orang khan ora sopan :mrgreen:  Selama itu, sebelum punya gubug, terhitung tujuh kali pindah kontrakan. Alhamdulillah dapat gebyok di komplek yang sekarang.

Namanya komplek, warganya pun juga sangat komplek. Berasal dari berbagai latar belakang sosial budaya. Beda dengan kampung yang cenderung homogen. Inilah dinamikanya. Entah kenapa, pada tahun-tahun pertama tinggal saya kok didapuk jadi pengurus RT. Tepatnya sekretaris. Itu setelah pemilu RT yang menempatkan saya dengan perolehan poin suara terbanyak nomor dua. 🙂

Ya sudah, saya terima amanah ini. Eladalah, si pemenang suara tertinggi, alias Pak RT, orangnya peragu. Para 4L@y bilang mirip SBY gitulah. Keputusan penting yang dihasilkan di rapat warga, sering berubah di tengah jalan, karena desakan beberapa warga yang tidak puas dengan keputusan rapat.

Ini jelas memusingkan Pak RT sendiri dan para pengurus. Inkonsistensi ini terus berlangsung selama periode kepengurusan yang tiga tahun itu. Selama itu pulalah dinamika berkembang menjadi friksi yang ditumpangi beberapa provokator. Penyelesaian konflik warga pun mengambang karena pemimpinnya tidak tegas.

Dari soal genteng mlotrok, jemuran ilang, selokan buntet, telek pitik, tukang intip pun menjadi kekisruhan yang lucu namun mengenaskan. Karena nggak tegas, persoalan nggak pernah tuntas, dan meler kemana-mana mirip umbel :mrgreen:  Menghabiskan energi.

Sebagai orang kedua saya tak bisa berbuat lebih. Paling juga mengingatkan pak ketua agar konsisten dan tegas. Tapi pak ketua tetap tak bisa tegas dengan alasan kebijakan dan keputusannya bakal menyakiti orang lain. Ya sudah, mungkin karakternya memang seperti itu. Yang salah juga warganya, kenapa milih pemimpin lembek. Ya to? Apa memang diset begitu agar bisa ditekuk-tekuk? Tak taulah eke 😀

Usai periode kepengurusan, saya bernafas lega, karena bisa menjadi warga normal. Tanpa direpotkan dengan surat-surat RT-RW, stempel, dan urusan administrasi lain. Namun tiba-tiba, Pak RW yang baru, meminta saya untuk menjadi sekretaris RW. Walah, ini namanya prajurit karir, batin saya. Dari sekretaris RT, munggah pangkat jadi sekretaris RW. L

Ya sudah, karena saya anggap itu amanah (lagi) saya terima job itu. Mulailah saya membenahi sisi administrasi, terutama format surat masuk dan keluar RT-RW. Para pengurus RT-RW yang mempunyai email saya data. Jadi info apapun, selain melalui blast sms juga via email. Hanya beberapa pengurus RT-RW yang tidak mempunyai email sehingga info harus disampaikan manual.

Tujuan saya adalah efisiensi dan mengurangi penggunaan kertas. Budaya ini belum sepenuhnya diterima, terutama para pengurus yang tua-tua dan wawasannya kurang. Undangan itu, kata mereka, harus dalam bentuk surat. Jika tak ada,  artinya tidak menghormati. Weleh….

Untungnya, Pak RW yang baru ini tegas. Dia mendukung metode paperless ini dengan cara bertahap. Misalnya Pak RT A tidak punya email, maka dicari pengurus RTnya yang punya email. Sehingga secara tidak langsung menjalin komunikasi antar pengurus di tingkat RT.

Jangan anggap enteng urusan koordinasi ini. Sebagian pengurus RT-RW adalah pegawai swasta atau negeri. Jadi sistem sms blast dan email ini dirasa mampu menjembatani kendala fisik dan lokasi para pengurus. Jadi ketika ada yang bilang,”Wah saya belum diberi tahu.” Kondisi ini dapat mudah dicross-check. Misal, “Coba periksa henponnya.” Atau,”Keselip di spam  emailnya.” Bahkan begini,”Udah jadi bungkus terasi kali bu. Coba cek di dapur.”

Ketegasan Pak RW baru ini juga diuji kala komplek mendapat program hibah pemasangan jalur pipa PDAM. Kolektif melalui RW. Lebih efisien dan tidak merepotkan warga. Hanya tinggal menyerahkan data, bayar pendaftaran, dan semuanya diurus RW. Sosialisasi program termasuk biaya juga dilakukan via RT masing-masing.

Dalam rapat pengurus RT-RW, disepakati, selain biaya pendaftaran sambungan sebesar Rp 440 ribu (murah karena mendapat subsidi), warga dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 30 ribu untuk mempercepat pembangunan lapangan serbaguna. Semua yang hadir mengamini.

Masalah timbul, ketika salah satu RT limbung terdesak sejumlah oknum warga yang tak puas dengan keputusan bersama itu. Pak RW menegaskan keputusan sudah bulat, jika mau pasang sendiri, silakan keluar dari program kolektif. Oknum warga RT itu pun  mendatangi kantor PDAM untuk mengorek informasi. Namun mereka kecele, karena biaya pemasangan pribadi tanpa ikut program kolektif biayanya lebih dari Rp 1,5 juta.

Kata Pak RW,”Udah sepakat kok di belakang menolak. Emang kemana saja selama ini?” Bisa jadi pula itu ketidakterampilan Pak RT saat menyampaikan hasil rapat. Itulah sekelumit cerita dari balik meja kerja tingkat kampung. No body perfect. 😀

Eh, ada yang pernah jadi pengurus RT-RW? Cerita dong gimana rasanya?

20 pemikiran pada “Cerita dari K@mpung

  1. hmm, hampir sama dinamikanya.
    ditempat saya, malah ada oposisi.
    kerjaannya “nggembosi” wacana-wacana yang hampir berjalan.
    yaah, dasar manusia. disini puas belum tentu disana puas. hihi

  2. alhamdulilah ngerantau dikampung orang jadi pengurus dah kenyang dari pemuda rt rw nyanpe pemuda tingkat kec dah di lakoni..

    intinya iklas dan mau berpikir yang logika sesuai lingkungan.

  3. saya jadi sekretaris RT belum lama ini. untungnya pak RT-nya karena bekerja di instansi militer jadi orangnya tegas. membantu pekerjaan pak RT jadi lebih mudah. di antara RT2 yang lain sering kali paling cepat kalo ada tugas2 di tingkat RW. pak RW-nya juga baik banget… tadinya saya ogah untuk terlibat urusan2 seperti ini, sekarang malah jadi dapat banyak pelajaran berharga… 🙂

  4. saya juga jadi sekretatis RT belum lama ini. untungnya pak RT-nya karena bekerja di instansi militer jadi orangnya tegas. membantu pekerjaan pak RT jadi lebih mudah. di antara RT2 yang lain sering kali paling cepat kalo ada tugas2 di tingkat RW. pak RW-nya juga baik banget… tadinya saya ogah untuk terlibat urusan2 seperti ini, sekarang malah jadi dapat banyak pelajaran berharga… 🙂

  5. Biasanya cari perhatian kisanak kelompok model begini…
    Mengingkari kesepakatan bersama dan mencari2 kesalahan orang.. Kadang2 memprovokatori karena sok kaya, sok kuasa, sok ngerti dan sok tua 😀
    Rame ing cangkem sepi ing gawe kasaran e
    kalo di tempat saya dulu..
    Pilih Pak. RT yg kaya bussinessman pak. Haji yg wawasan luas dan sabar.. Perfecto lah jadi tokoh masyarakat tapi ya itu karena pak RT seorang businessman yg sering bepergian segala urusan juga pulang ke istri tua, terpaksa jabatan di wakili bu RT muda dan rapat2 RT pertemuan dsb harus hari minggu/ sabtu soale kalo malem ga etis rapat sama bu RT, untung Bu Hj. RT muda sangat cerdas berpengaruh dan juga cantik 😛
    yg jadi korban anak2 lho kok anak2 lha iya bapaknya tiap minggu ga pernah main ato jalan2 sama keluarga yg ada rapat rt, gotong royong dan pertemuan dan beberapa istri mulai cemburu xixixix

  6. Hurung tau, ribete poor, ndisit bapaku ki. rt munggah, rw, sampai ada vacum pegawai akhir job tumpuk samapi dadi bendahara lan carik… dan yg pasti ….tetep kere… 😀

    Pemandangane ijo, tp suwe-suwe biru… *uteke..

  7. jadi RT sih lom pernah, cuma bantu manage uang sosial warga yg ditarik saat arisan bulanan untuk keperluan warga yang kondisinya kurang baik..

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s