Surat Hijau untuk Istriku


Assalamu’alaikum Warahmatulahi Wabarakatuh

Dear Fika Rizkiah, istriku. Saya ingin sedikit mendongeng kenapa suamimu ini begitu peduli dengan persoalan lingkungan. Saya sendiri tidak tahu, kenapa mempunyai roh yang begitu kuat terhadap alam. Apa karena shio saya babi, yang kata buku-buku fengshui Cina, menuturkan jika shio babi itu lekat dengan elemen bumi?
Saya tak percaya betul hitungan astronomi Cina itu. Yang jelas, sejak kecil, ketika saya lahir dan besar di Kampung Nayu Wetan, Kelurahan Nusukan, Kecamatan Banjarsari, kehidupan sehari-hari selalu dekat dengan “tanah dan air”.

Waktu kecil, kelebihan saya adalah menggambar. Sejak TK, setiap sore saya dan adik-adik menggambar menggunakan batu kerikil di atas tanah di samping rumah.Hampir tiap sore kegiatan itu saya lakukan. Dari menggambar pemandangan, rumah, mobil, dan motor.

Ketika bapak mempunyai sedikit rezeki lebih, kami dibelikan papan tulis berikut kapur untuk menggambar. Jadilah wajah kami bertiga tiap sore belepotan kapur tulis.

Darah seni ini, walau tak kental, mungkin warisan dari Mbah saya, Darmowarsono, yang seorang penari freelance di Keraton Mangkunegaran. Mbah yang menjabat secara administratif sebagai demang di Pemerintah Karesidenan Surakarta, saat itu, kata almarhum mama saya, Soelastinah, gajinya kecil.

Untuk itulah kenapa mbah kerja tambahan menjadi penari. Saya tak ingat persis, mbah biasa menari apa.

Namun, mama saya bercerita, kalau tanah pekarangan yang sampai saat ini menjadi rumah tinggal, didapat dari kerja keras Mbah Demang, begitu tetangga kampungku biasa memanggil.

Tanah yang dibeli mbah cukup luas. Seingat saya, sekitar 1000 meter persegi. Ditengahnya dibangun rumah kayu berdinding gedek (anyaman bambu), dengan empat bilik kamar. Semuanya berlantai tanah.

Di rumah bilik itu, mbah kakung dan mbah putri tinggal berdesakan dengan keluarga saya dan keluarga Pakde Soelasmo (kakak tertua mama saya). Mbah memang hanya mempunyai dua orang anak. Yang tertua pakde dan si bungsu mama saya.

Sungguh ramai bin ajaib suasana kala itu. Pakde, istri (bude) dan empat anaknya tinggal bareng dengan keluarga saya:bapak, mama, dan ke tiga anak lelakinya.

Di kemudian hari, ketika kondisi ekonomi masing-masing kepala keluarga mulai membaik, tanah pekarangan dibagi dua. Satu untuk pakde, satunya lagi untuk mendirikan rumah mama dan bapak saya.

Jadilah rumah induk bergeser ke pinggir yang kemudian ditempati pakde, dan tanah pekarangan di sebelahnya didirikan rumah yang dibangun bapak dan mama saya.

Mbah Kakung, begitu cucu-cucunya memanggil, memelihara hewan ternak seperti kambing, ayam, bebek, bahkan tawon madu yang dibuatkan sarang dari batang kelapa tua. Kadang saya dan adik-adik:Ari dan Awit (Dik Opik lahir belakangan) ikut mbah angon wedus (menggembala kambing) ke lapangan tepi Kali Anyar.

Ya, rumah mbah memang berada di tepi sungai dengan tegalan dan jalan kampung sebagai pemisahnya.

Walau begitu, saya dan adik-adik tak diijinkan bermain-main di sungai itu. Bahaya, kata mama saya dan mbah kompak. Jadilah hingga kini saya tak bisa berenang dibandingkan anak-anak tetangga seperti: Jamin, Pardi, Bagong, dan Yanto yang gapai berenang gaya kampung di sungai itu.

Meski “dihalau” dari wilayah sungai, tak membuat saya tak dekat dengan air.

Tak hanya angon, saya dan adik-adik juga sering di ajak mbah rambanan (mencari daun pakan ternak) di tegalan depan rumah. Daun waru, daun ketela, menjadi makanan embek yang ada di kandang.

Saya ingat persis, ketika suatu malam, keluarga kami heboh karena salah satu embek akan beranak. Jadilah kami berkerumun di dekat kandang menunggui si wedus kecil lahir.

Istriku sayang, saya tak tahu kenapa saya tak jijik mengolah sampah organik dan anorganik yang ada di rumah kita saat ini:Komplek Perdagangan Blok Q1/05 RT 08 RW 07, Pondok Manggis, Bojong Baru, Bojong Gede, Kabupaten Bogor, 16320.

Apa karena waktu kecil saya pernah kejeblos ke jamban apung di belakang rumah mbah? Sehingga sebagian tubuh saya, dari kaki hingga pinggang belepotan lumpur: campuran air, tanah, dan kotoran manusia?

Saya juga tak tahu kenapa begitu pedulinya dengan air tanah. Apa karena cerita mama saya tentang sumur gali di rumah mbah yang sampai saat ini masih berfungsi sempurna:menyediakan air bersih bagi yang membutuhkan. Mama saya bercerita, menurut mbah putri, sumur itu dibuat oleh seorang musafir yang mampir ke rumah mbah.

Kisahnya, si musafir itu datang dalam keadaan sakit mata. Oleh mbah diobati sehingga sembuh. Si musafir kemudian menawarkan jasa untuk membuat sumur gali yang kini masih berfungsi seperti ketika dibuat puluhan tahun lampau.

Sampai kini, saya tak tahu apakah ada hubungannya si musafir yang sakit mata itu dengan buah kerjanya membuat mata air (sumur) di pekarangan mbah saya? Yang pasti, hingga detik ini, saya begitu menghargai air tanah yang berada dimanapun di bumi ini yang menjadi sumber kehidupan itu.

Itulah sebabnya, istriku sayang, saya berniat membuat sumur resapan di rumah kita yang sangat sederhana itu. Sumur resapan air hujan itu, rencananya akan saya gabungkan dengan ecotech-gardening (sebuah sistem pengurang polutan air tanah menggunakan sejumlah tanaman air) yang dikembangkan oleh Ibu Ratna Hidayat dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air (Pusair), Bandung.

Sistem pengolah limbah jenis grey water itu terhitung murah meriah. Cocok untuk rakyat kecil seperti kita ini yang berniat hidup selaras dengan alam.

Mungkin kecintaan saya pada alam lingkungan ini, juga dipicu ketika melihat seragam Pramuka seorang siswa yang berjalan gagah di depan rumah saat saya masih SD. Pramuka yang saya tahu saat itu, identik dengan pelajaran bertualang di alam bebas. Saya pun memutuskan menjadi anggota Pramuka ketika kelas 4 SD.

Namun itu tak lama. Saya memutuskan tak aktif di Pramuka lagi dengan pangkat Siaga. Pelajaran Pramuka di SD saya hanya berupa teori yang membosankan. Sangat jauh dari ingar bingar kegiatan Pramuka di sekolah lain yang begitu sering berkemah di alam bebas.

Mulailah saya belajar mencintai alam dengan cara sendiri. Kegiatan kemping dan naik gunung amatir kerap saya lakukan semenjak SMP hingga SMA. Pelan-pelan saya belajar secara informal dari teman-teman bagaimana memperlakukan alam ini secara bijak.

Yang paling berkesan bagi saya saat itu adalah kegiatan bersih gunung yang dilakukan sejumlah pecinta alam di Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah, pada masa akhir 80-an.

Pergaulan dengan kaum pecinta alam semakin intens ketika saya masuk kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Jurusan Komunikasi Massa, Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta. Di kampus saya bergabung dengan Mahasiswa Fisip Pecinta Alam (Mahafisippa).

Selama beberapa lama saya terlibat aktif dengan kegiatan pecinta alam, dari panjat tebing, mendaki gunung, praktek survival, dan berusaha patuh pada regulasi kepecinta alaman yang baku, seperti:jangan tinggalkan apapun di alam (gunung) kecuali jejak, jangan ambil apapun kecuali gambar (potret), dan lain sebagainya.

Namun proses membuat saya memilih non aktif dari unit kegiatan mahasiswa (UKM) fakultas ini. Pasti kamu bertanya istriku, kenapa mas?

Saya memilih “berhenti” karena melihat UKM ini lebih giat berpolitik di kampus dibanding bergiat di alam. Siapapun tahu, dekade 80an – 90an, UKM ini sangat disegani secara internal dan eksternal fakultas.

Selanjutnya, saya memilih bergabung dengan teater SOPO (Sosial Politik), sebuah UKM baru yang dideklarasikan ara senior penggita seni di fakultas. Di sini saya merasa menemukan energi yang tak pernah habis. Kecintaan saya pada seni dan alam lingkungan melebur di komunitas ini.

Sekali waktu, disela-sela jeda kuliah, kami pergi ke punggung gunung: kemping sambil pura-pura berlatih teater. Padahal kegiatan selama di gunung,kalo tidak memasak mie campur-campur, juga mencari lokasi yang pas untuk mandi di sungai yang airnya jernih.

Selama bergabung dengan teater ini, saya yang kebetulan sempat menjabat sebagai ketua umum, menerapkan sejumlah ilmu yang saya dapat dari Mahafisippa.

Yang paling tegas adalah jangan pernah membuang sampah sembarangan di gunung. Sampah plastik dikumpulkan, dan sampah organik (sisa sayur, nasi, dan lain-lain) dikubur agar berproses menjadi kompos.

Istriku sayang, saat itu saya belum tahu apa-apa soal kompos. Yang saya pahami kala itu, setiap yang berasal dari alam, harus kembali ke alam. Seperti mbah saya yang membuat lubang galian cukup besar di belakang rumah. Kata mbah, itu untuk membuang sampah daun.

Ya, begitu banyak sampah daun yang ada di rumah saya waktu kecil. Pekarangan mbah ditumbuhi berbagai macam pohon: mangga, sawo, kelapa, belimbing, apel belanda, pace, temu lawak, jahe, kunyit, kemuning, melati, dan lain sebagainya.

Sampah-sampah organik itu, jika telah memenuhi lubang, akan dibakar oleh mbah. Karena pekarangan kami cukup luas, maka asap pembakaran tidak begitu mengganggu aktifitas penghuni dan para tetangga.

Paling-paling jemuran yang berbau sangit. Hihihihihi… Itulah yang menyebabkan keluarga besar kami tak pernah membuang sampah keluar rumah.

Ketika jaman produk plastik dan kemasannya mulai menjadi konsumsi harian, mulailah sampah plastik menjadi persoalan. Dia tak gampang terurai seperti halnya batang dan daun bambu yang tumbuh subur di belakang rumah, atau guguran daun sawo yang telah menguning.

Kami saat itu, tentu saja tak paham bagaimana mengelola sampah plastik, yang dewasa ini menjelma menjadi barang cantik atau produk daur ulang. Akhirnya, sampah plastik itu, oleh keluarga besar kami nasibnya sama dengan daun-daun mangga:dibakar habis di belakang rumah.

Kami, pada saat itu, tak tahu apa itu polusi udara dan tanah. Yang kami lakukan hanya berusaha “membersihkan” sampah dari pekarangan rumah. Istriku sayang, seiring berjalannya waktu, kini kita mendapat kemudahan informasi bagaimana mengelola sampah yang baik bagi lingkungan.

Internet memungkinkan semua itu. Itulah yang membuat semangat saya untuk mencintai alam lingkungan ini semakin bergelora.

Apa yang saya lakukan ini, secara tidak saya sadari, sejalan dengan esensi agama yang saya anut, Islam, yaitu rahmatan lil alamin (rahmat untuk seluruh alam). Islam mengajarkan banyak hal tentang bagaimana bersifat arif terhadap alam.

Allah SWT bahkan melarang umat manusia untuk membuat kerusakan dan aniaya di muka bumi ini. Tapi kaum muslim yang menjadi mayoritas di Indonesia ini seperti “tak peduli” dengan peringatan Allah SWT itu.

Istriku terkasih, terus terang, suamimu ini sangat malu dengan gerombolan peduli sampah (Gropesh) yang aktif memberikan penyuluhan dan pelatihan mengatasi persoalan sampah di sejumlah tempat.

Saya malu, iri, sekaligus salut terhadap Gropesh. Walau mereka non-muslim tapi perhatian yang diberikan terhadap persoalan lingkungan demikian besar. Dukungan dari pemimpin agama di kelompok itu juga patut diacungi jempol.

Mereka tidak hanya berdakwah secara teori dan lisan, tetapi benar-benar bergelut dengan sampah yang menjadi perhatian utama kelompok itu.

Istriku, maafkan suamimu ini yang juga malu dan memendam iri pada Rhenald Kasali yang sukses mendirikan Rumah Perubahan. Sebuah wahana untuk mengelola lingkungan dengan cara yang beradab: gabungan enterprenership dan ideologi hijau yang menurut saya perfect.

Taukah kamu? Rhenald adalah seorang non-muslim yang berjuang dengan caranya sendiri untuk mencegah kerusakan di muka bumi.

Apakah salah jika saya berfikiran Rhenald Kasalai dan Gropesh ternyata lebih islami dibanding kaum muslimin? Atau Singapura yang tertib, bersih, dan aman, juga lebih islami dibanding Indonesia yang mayoritas muslim ini?

Untunglah, saya sedikit terhibur ketika tahu AA Gym sedang membangun eco-pesantren: sebuah kawasan pesantren modern yang memadukan teknologi terkini yang berwawasan lingkungan.

Fika, istriku, saya pun terhibur dapat berkenalan dengan pemerhati, pengompos, dan pelaku zerowaster seperti Pak Sobirin dari Bandung dan Ibu Christine, Semarang. Dari mereka berdua saya mendapat banyak informasi berharga dan semangat untuk menularkan ilmu zerowaste ke dunia yang lebih luas.

Saya juga bersyukur ternyata ada mantan pejabat seperti Pak Djamaludin Suryo, mantan Menteri Kehutanan, dan Pak Solichin GP (mantan Gubernur Jawa Barat) yang sangat antusias dalam membuat kompos di lahan sekitar rumahnya. Beliau berdua yang sudah sepuh itu menjadi anggota senior Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS).

Wahai Fika, istriku sayang, sudah lebih dari lima hari tulisan ini tertunda diunggah, sejak saya tulis lepas tengah malam takbiran lalu. Selain kesibukan halal bihalal dan silaturahmi keluarga besar kita di Condet, saya perlu merenung terlebih dahulu sebelum menayangkan tulisan ini.

Saya baca ulang, agar kamu, istriku sayang, tidak salah mengerti, dan di kemudian hari dapat lebih mengajarkan kepada anak kita Nadifa, begitu berartinya lingkungan hidup ini bagi generasi manusia di masa depan.

Saya berharap Nadifa, dan anak keturunan kita selanjutnya, akan lebih sholeh dan sholehah dalam memaknai hidup. Mempunyai kesholehan vertikal, kesholehan horisontal, dan kesholehan lingkungan sosial yang lebih bermutu dibandingkan kedua orang tuanya.

Anak yang sholeh/sholehah, kata pak ustadz, adalah segala-galanya, dan harta yang tak ternilai bagi kedua orang tuanya.

Fika, saya bangga mempunyai istri sepertimu, yang mau mengerti dan memahami betapa tidak mudah untuk hidup selaras dengan alam. Saya bangga mempunyai istri yang tidak segan untuk memisah sampah organik ke dalam komposter anaerob kita di depan rumah.

Betapa senangnya saya, ketika kita berdua mencacah kecil-kecil daun-daun kersen untuk dibuat kompos, lalu membuat MOL ala Pak Sobirin dalam sebuah tong besar: bahan baku pupuk cair dan aktivator kompos.

Sungguh, saya beruntung mempunyai istri seperti kamu. Jujur, di komplek kita ini, siapa coba istri yang mau berkutat dengan sampah seperti suaminya ini?

Dari angin yang berhembus berseliweran, kata bapak-bapak komplek – yang kelihatannya juga nggak terlalu serius mengatasi sampah, istrinya bilang “Nggak mau repot misahin sampah. Kalo mau pisahin aja sendiri.”

Waaah, kalau bapaknya nggak serius, istrinya malas, anak-anaknya cuek, lalu siapa yang ngurusin sampah? Serahin ke tukang sampah yang bisanya cuma ngambil dan membuang di lahan kosong samping kompleks?

Pasti suatu masa akan timbul masalah ketika lahan itu digunakan oleh yang empunya. Saya yakin, dalam jangka waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan, warga komplek kita akan dipusingkan dengan sampahnya sendiri.

Buktinya, sehari saja pak tukang sampah tidak mengambil sampah di rumah, orang-orang sudah kelimpungan. Beruntung saya mempunyai keluarga yang istiqomah soal sampah. Sampah dapur organik masukin komposter, an-organik kumpulkan untuk para pemulung.

Konsep zerowaste memang tidak susah. Yang paling sulit adalah istiqomahnya itu.

Fika sayang, biarkan orang-orang mencemooh apa yang kita lakukan selama ini. Toh apa yang kita jalani sesuai dengan ajaran agama kita, Islam, yaitu untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi.

Cukup banyak ayat Al-Qur’an yang melarang kita membuat kerusakan di atas bumi: Al-Baqarah (2): 60, Al-Qashash (28): 77, Al-Maidah (5): 33, Ar-Ra`d (13): 25, Al-A`raaf (7): 74, yang dapat dibaca di sini.

Istriku, sudah cukup banyak yang saya tulis disini. Saya nggak enak nulis panjang-panjang. Saya khawatir terjebak kedalam golongan yang menurut Slank “tong kosong nyaring bunyinya, oceh sana-sini tak ada isi, otak udang ngomongnya sembarang.”

Semoga keluarga kita dijauhkan Allah SWT dari golongan orang-orang seperti itu. Amiiin.
Istriku, semoga Iedul Fitri tahun depan, kita semua mendapat lebih banyak lindungan, rahmat, dan berkah dari Allah SWT. Amiiin.

Wassalamu’alaikum

Batu Kinyang, Condet, Jakarta Timur.

9 pemikiran pada “Surat Hijau untuk Istriku

  1. loh ??mas..sampeyan diksar berapa ya ?

    salam kenal saya dksar 10.

    saya juga punya cita2 berbuat sesuatu nih buat alam.

    kira2 apa yang bisa saya buat ya ?

    Saya diksar angkatan 7, kalo gak salah hehehehe. Satu angkatan sama Oseng, Agus AE, Farel. Btw, ini Jarod angkatan tahun berapa ya?

  2. @ mas puji,
    nggak bergeser kok, emang udah konsen dari dulu.
    setelah topo wudo, saya dapat pencerahan kalo safety itu ternyata berhubungan dengan persoalan lingkungan hidup.
    itu di sopo kui udah saya update infonya….
    salam sutera ungu

Tinggalkan Balasan ke jarod diksar 10 Batalkan balasan